Jumat, 20 Februari 2015

Menghapus PBB dan NJOP (Bag. 2 - Habis)



Beberapa Alasan
Ada beberapa alasan ketidaktepatan ide penghapusan PBB. Pertama, fakta menunjukkan bahwa PBB hingga saat ini masih menjadi primadona penerimaan di daerah. Kedua, kebijakan penghapusan PBB tidak saja berdampak pada berkurangnya PAD dalam jumlah yang signifikan, tetapi juga menjadikan eksistensi negara dalam sanubari masyarakat menjadi hilang.

Menghapus PBB sama dengan menghapus akar sejarah dan keterikatan antara negara dan warganya. Boleh dikata, saat ini hanya PBB yang menjadi perekat masyarakat dengan negara. Apa alasannya? Tidak semua orang wajib membayar pajak penghasilan, PPN, atau bahkan pajak dan retribusi daerah. Tapi, seluruh masyarakat dari desa sampai kota, dari perkebunan sampai pertambangan wajib membayar PBB sebagai bukti menjalankan kewajiban negara. Berdasarkan pengalaman, masyarakat lebih familiar dengan PBB dan pajak kendaraan bermotor sebagai pajak ketimbang PPh dan PPN. Ini bukti paling nyata keterikatan masyarakat terhadap negara.
Ketiga, menghapus kewajiban PBB tidak serta merta meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat mengingat besaran PBB yang harus dibayar masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kemampuan masyarakat membayar kewajiban lainnya seperti membeli sembako, transportasi, listrik, bahkan rokok. Undang-undang yang berlaku pun masih memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengajukan pengurangan jika mereka tidak mampu membayar PBB terutang atau mengajukan keberatan jika terdapat kesalahan data dalam SPPT.
Keempat, praktik di negara maju menunjukkan bahwa PBB bukan barang asing. Mereka mengenakan land tax, building tax, dan property tax. Pemikiran yang mendasari hampir sama dengan urian di muka bahwa negara berhak memajaki masyarakat yang mendapatkan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Bagaimana dengan NJOP? Berdasarkan undang-undang yang berlaku, NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan PBB (Pasal 6 ayat (1) UU PBB) yang ditentukan dari  harga rata-rata transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Jadi, tidak ada yang salah dengan NJOP karena memang tujuannya hanya sebagai dasar pengenaan PBB. Adapun jika dalam praktik banyak pelaku usaha yang menjadikannya sebagai patokan harga property, mekanisme transaksinya yang harus diubah. NJOP dapat mengikuti harga transaksi, bukan harga transaksi yang harus mengikuti NJOP. Jika bukan karena pencitraan untuk dianggap pro rakyat apalagi tidak didukung dengan bukti-bukti ilmiah, sebaiknya keinginan menghapus PBB diendapkan dahulu. Energi yang ada sebaiknya dikerahkan untuk mengoptimalkan penerimaan daerah dan menstimulasi daerah agar mampu menciptakan kesejahteraan.

Peran Serta Masyarakat
Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada warganya. Pemerintah baik di pusat maupun daerah pun mempunyai kewajiban yang sama. Namun, harus ada dana yang dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan itu. Jer basuki mowo beyo, kata pepatah Jawa. Sebagaimana teori kontrak terbentuknya negara, masyarakat harus merelakan sebagian haknya diambil oleh pemerintah sebagai pihak yang diberikan kepercayaan mengelola sumber daya. Berkurangnya sumber PAD jika PBB benar-benar dihapuskan baik sebagian maupun seluruhnya harus digantikan oleh sumber penerimaan lainnya yang sah menurut undang-undang.
Negara tidak boleh hanya menjadikan masyarakat sebagai objek kebijakan saja. Mereka harus diajak untuk turut serta memberikan pendapat dan masukan dalam proses pembuatan kebijakan karena akan berdampak pada pelayanan terhadap masyarakat (new public service theory). Pemerintah tidak lagi menjadi penentu dan pengarah kebijakan, tetapi melayani warga negara karena posisinya yang penting bagi keberadaan negara. Pendekatan demokratis ini akan menjadikan sebuah aturan diikuti oleh seluruh masyarakat. Kita harus belajar dari banyaknya aturan yang tidak memperoleh masukan dari masyarakat berujung pada pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Tentunya hal tersebut tidak saja berakibat pada pengorbanan tenaga, waktu, dan biaya yang semestinya tidak perlu, tapi juga peraturan yang telah mendapat persetujuan antara DPR dan Pemerintah menjadi tidak efektif untuk dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar