Beberapa Alasan
Ada beberapa alasan
ketidaktepatan ide penghapusan PBB. Pertama, fakta menunjukkan bahwa PBB hingga
saat ini masih menjadi primadona penerimaan di daerah. Kedua, kebijakan
penghapusan PBB tidak saja berdampak pada berkurangnya PAD dalam jumlah yang
signifikan, tetapi juga menjadikan eksistensi negara dalam sanubari masyarakat
menjadi hilang.
Menghapus PBB sama
dengan menghapus akar sejarah dan keterikatan antara negara dan warganya. Boleh
dikata, saat ini hanya PBB yang menjadi perekat masyarakat dengan negara. Apa
alasannya? Tidak semua orang wajib membayar pajak penghasilan, PPN, atau bahkan
pajak dan retribusi daerah. Tapi, seluruh masyarakat dari desa sampai kota,
dari perkebunan sampai pertambangan wajib membayar PBB sebagai bukti
menjalankan kewajiban negara. Berdasarkan pengalaman, masyarakat lebih familiar
dengan PBB dan pajak kendaraan bermotor sebagai pajak ketimbang PPh dan PPN.
Ini bukti paling nyata keterikatan masyarakat terhadap negara.
Ketiga, menghapus
kewajiban PBB tidak serta merta meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat
mengingat besaran PBB yang harus dibayar masih relatif kecil jika dibandingkan
dengan kemampuan masyarakat membayar kewajiban lainnya seperti membeli sembako,
transportasi, listrik, bahkan rokok. Undang-undang yang berlaku pun masih
memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengajukan pengurangan jika mereka
tidak mampu membayar PBB terutang atau mengajukan keberatan jika terdapat
kesalahan data dalam SPPT.
Keempat, praktik di
negara maju menunjukkan bahwa PBB bukan barang asing. Mereka mengenakan land
tax, building tax, dan property tax. Pemikiran yang mendasari
hampir sama dengan urian di muka bahwa negara berhak memajaki masyarakat yang
mendapatkan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Bagaimana dengan NJOP?
Berdasarkan undang-undang yang berlaku, NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan
PBB (Pasal 6 ayat (1) UU PBB) yang ditentukan dari harga rata-rata transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan
melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti.
Jadi, tidak ada yang
salah dengan NJOP karena memang tujuannya hanya sebagai dasar pengenaan PBB.
Adapun jika dalam praktik banyak pelaku usaha yang menjadikannya sebagai
patokan harga property, mekanisme transaksinya yang harus diubah. NJOP dapat
mengikuti harga transaksi, bukan harga transaksi yang harus mengikuti NJOP.
Jika bukan karena pencitraan untuk dianggap pro rakyat apalagi tidak didukung
dengan bukti-bukti ilmiah, sebaiknya keinginan menghapus PBB diendapkan dahulu.
Energi yang ada sebaiknya dikerahkan untuk mengoptimalkan penerimaan daerah dan
menstimulasi daerah agar mampu menciptakan kesejahteraan.
Peran Serta Masyarakat
Negara berkewajiban
memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada warganya. Pemerintah baik di
pusat maupun daerah pun mempunyai kewajiban yang sama. Namun, harus ada dana
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan itu. Jer basuki mowo
beyo, kata pepatah Jawa. Sebagaimana teori kontrak terbentuknya negara, masyarakat
harus merelakan sebagian haknya diambil oleh pemerintah sebagai pihak yang
diberikan kepercayaan mengelola sumber daya. Berkurangnya sumber PAD jika PBB
benar-benar dihapuskan baik sebagian maupun seluruhnya harus digantikan oleh
sumber penerimaan lainnya yang sah menurut undang-undang.
Negara tidak boleh
hanya menjadikan masyarakat sebagai objek kebijakan saja. Mereka harus diajak
untuk turut serta memberikan pendapat dan masukan dalam proses pembuatan
kebijakan karena akan berdampak pada pelayanan terhadap masyarakat (new
public service theory). Pemerintah tidak lagi menjadi penentu dan pengarah
kebijakan, tetapi melayani warga negara karena posisinya yang penting bagi
keberadaan negara. Pendekatan demokratis ini akan menjadikan sebuah aturan
diikuti oleh seluruh masyarakat. Kita harus belajar dari banyaknya aturan yang
tidak memperoleh masukan dari masyarakat berujung pada pengajuan judicial
review di Mahkamah Konstitusi. Tentunya hal tersebut tidak saja berakibat
pada pengorbanan tenaga, waktu, dan biaya yang semestinya tidak perlu, tapi
juga peraturan yang telah mendapat persetujuan antara DPR dan Pemerintah
menjadi tidak efektif untuk dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar