Jumat, 20 Februari 2015

Menghapus PBB dan NJOP (Bag. 1)



Beberapa hari ini, ramai diperbincangkan mengenai berita bahwa, “Untuk meringankan beban masyarakat, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan siap terbitkan kebijakan di mana masyarakat tidak perlu membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) yang menjadi kewajibannya setiap tahun.
Rencananya, pada 2016 PBB nonkomersial seperti rumah tinggal akan dihapuskan.” Alasan yang mendasari kebijakan tersebut adalah agar negara memberikan kesejahteraan dengan meringankan beban masyarakat, melindungi, dan memberikan kenyamanan bagi warga negaranya. Selain soal PBB, Menteri ATR juga mewacanakan penghapusan NJOP karena sering digunakan sebagai patokan harga pasar properti. Gayung bersambut, beberapa anggota DPR mengamini rencana ini.
Sebelum menanggapi wacana tersebut, mari kita lihat bagaimana posisi pajak khususnya PBB dalam tata perundang-undangan negara kita. Konstitusi negara mengamanatkan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” (Pasal 23A UUD 1945). Ini berarti bahwa pengenaan pajak tertentu harus melalui kesepatan antara pemerintah dan DPR. Demikian juga penghapusan jenis pajak tertentu harus dilakukan dengan mengubah undang-undang. Bukan kebijakan menteri, pembantu presiden.
Melalui UU 12/1985 (telah diubah dengan UU 12/1994), pemerintah bersama-sama dengan DPR membuat UU PBB yang mengenakan pajak atas tanah dan bangunan. Hal itu dilatarbelakangi adanya manfaat yang diperoleh masyarakat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya karena mendapatkan sesuatu hak dari kekuasaan negara. Sebagai konsekuensinya, masyarakat diambil sebagian haknya dalam bentuk pajak untuk membiayai sebagian kegiatan pembangunan.
Sebelum berlaku UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), PBB selurunya merupakan sumber penerimaan negara dalam APBN. Meskipun demikian, porsi terbesar (90%) PBB tetap kembali ke daerah untuk didistribusikan ke provinsi, kabupaten/kota, dan sebagai biaya pemungutan. Sejak 2010, PBB perdesaan dan perkotaan bersama dengan BPHTB sepenuhnya menjadi pajak daerah sedangkan PBB pertambangan, perkebunan, dan kehutanan tetap dikelola oleh pemerintah pusat melalui Ditjen Pajak. Di samping PBB, pemerintah daerah tetap mendapatkan transfer dana dari pemerintah pusat yang diklasifikasikan ke dalam Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Lain-Lain Pendapatan yang Sah, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian.

Peranan PBB dalam PAD
Harus diakui bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat cukup besar. Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa dan Bali dana perimbangan  mendapatkan porsi 50,19% dari total PAD sedangkan di Sulawesi sebesar 74,55% (sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2014, DJPK Kemenkeu RI). Meskipun demikian, penerimaan PBB masih menjadi primadona dalam struktur PAD. Berdasarkan data tahun 2007-2013, total realisasi PAD nasional adalah sebesar Rp434,34 triliun sedangkan penerimaan pajak daerah sebesar Rp367,05 triliun (84,50%). Dari jumlah tersebut, penerimaan PBB nasional untuk periode yang sama sebesar Rp188,135 triliun atau 43,314% dari PAD. Ini menunjukkan bahwa peran PBB dalam PAD sangat besar.
Melalui UU PDRD, pemerintah daerah diberi wewenang untuk memungut beberapa jenis pajak berikut: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Potensi penerimaan pajak daerah berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya. Di Bali, misalnya, sebagai daerah tujuan wisata pajak hotel, restoran, dan hiburan menempati posisi teratas dibandingkan jenis pajak daerah lainnya. Sementara DKI Jakarta mengandalkan PBB, PKB, dan BBNKB.
Kembali ke isu soal penghapusan PBB dan NJOP. Penggagas dan pendukung ide berpendapat bahwa PBB tidak sepantasnya dikenakan terhadap tanah dan bangunan kecuali yang bersifat komersial seperti ruko dan mall. Adapun terhadap tanah dan bangunan yang dimiliki oleh masyarakat kebanyakan seperti rumah tinggal, PBB sebaiknya dihapuskan karena sama saja dengan ‘memajaki tanah Tuhan’. Padahal, selama ini PBB sudah membuat pengecualian terhadap objek yang digunakan untuk kepentingan umum seperti ibadah, sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaan nasional, kuburan, peninggalan purbakala, hutan lindung, taman nasional, tanah gembala yang dikuasai desa, dan yang digunakan oleh konsulat/perwakilan diplomati dan organisasi internasional. Jika ingin menghapus kewajiban membayar PBB kepada masyarakat kurang mampu, ubah undang-undangnya lebih dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar