Beberapa hari ini,
ramai diperbincangkan mengenai berita bahwa, “Untuk meringankan beban
masyarakat, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN), Ferry Mursyidan Baldan siap terbitkan kebijakan di mana masyarakat tidak
perlu membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) yang menjadi kewajibannya setiap
tahun.
Rencananya, pada 2016 PBB nonkomersial seperti rumah tinggal akan
dihapuskan.” Alasan yang mendasari kebijakan tersebut adalah agar negara
memberikan kesejahteraan dengan meringankan beban masyarakat, melindungi, dan
memberikan kenyamanan bagi warga negaranya. Selain soal PBB, Menteri ATR juga
mewacanakan penghapusan NJOP karena sering digunakan sebagai patokan harga
pasar properti. Gayung bersambut, beberapa anggota DPR mengamini rencana ini.
Sebelum menanggapi
wacana tersebut, mari kita lihat bagaimana posisi pajak khususnya PBB dalam
tata perundang-undangan negara kita.
Konstitusi negara mengamanatkan bahwa “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”
(Pasal 23A UUD 1945). Ini berarti bahwa pengenaan pajak tertentu harus melalui kesepatan antara
pemerintah dan DPR. Demikian juga penghapusan jenis pajak
tertentu harus dilakukan dengan mengubah undang-undang. Bukan kebijakan menteri,
pembantu presiden.
Melalui UU 12/1985
(telah diubah dengan UU 12/1994), pemerintah bersama-sama dengan DPR membuat UU
PBB yang mengenakan pajak atas tanah dan bangunan. Hal itu dilatarbelakangi
adanya manfaat yang diperoleh masyarakat dari bumi dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya karena mendapatkan sesuatu hak dari kekuasaan negara.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat diambil sebagian haknya dalam bentuk pajak
untuk membiayai sebagian kegiatan pembangunan.
Sebelum berlaku UU
28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), PBB selurunya
merupakan sumber penerimaan negara dalam APBN. Meskipun demikian, porsi
terbesar (90%) PBB tetap kembali ke daerah untuk didistribusikan ke provinsi,
kabupaten/kota, dan sebagai biaya pemungutan. Sejak 2010, PBB perdesaan dan perkotaan
bersama dengan BPHTB sepenuhnya menjadi pajak daerah sedangkan PBB
pertambangan, perkebunan, dan kehutanan tetap dikelola oleh pemerintah pusat
melalui Ditjen Pajak. Di samping PBB, pemerintah daerah tetap mendapatkan
transfer dana dari pemerintah pusat yang diklasifikasikan ke dalam Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Lain-Lain
Pendapatan yang Sah, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian.
Peranan PBB dalam PAD
Harus diakui bahwa
ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan dari pemerintah
pusat cukup besar. Sebagai
contoh, untuk wilayah Jawa dan Bali dana perimbangan mendapatkan porsi 50,19% dari total PAD sedangkan
di Sulawesi sebesar 74,55% (sumber: Deskripsi dan Analisis
APBD 2014, DJPK Kemenkeu RI).
Meskipun demikian, penerimaan
PBB masih menjadi primadona dalam struktur PAD. Berdasarkan data tahun
2007-2013, total realisasi PAD nasional adalah sebesar Rp434,34 triliun
sedangkan penerimaan pajak daerah sebesar Rp367,05 triliun (84,50%). Dari
jumlah tersebut, penerimaan PBB nasional untuk periode yang sama sebesar
Rp188,135 triliun atau 43,314% dari PAD.
Ini
menunjukkan bahwa peran PBB dalam PAD sangat besar.
Melalui UU PDRD,
pemerintah daerah diberi wewenang untuk memungut beberapa jenis pajak berikut:
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB),
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok,
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah,
Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Potensi
penerimaan pajak daerah berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya. Di
Bali, misalnya, sebagai daerah tujuan wisata pajak hotel, restoran, dan hiburan
menempati posisi teratas dibandingkan jenis pajak daerah lainnya. Sementara DKI
Jakarta mengandalkan PBB, PKB, dan BBNKB.
Kembali ke isu soal
penghapusan PBB dan NJOP. Penggagas dan pendukung ide berpendapat bahwa PBB
tidak sepantasnya dikenakan terhadap tanah dan bangunan kecuali yang bersifat
komersial seperti ruko dan mall. Adapun terhadap tanah dan bangunan yang
dimiliki oleh masyarakat kebanyakan seperti rumah tinggal, PBB sebaiknya
dihapuskan karena sama saja dengan ‘memajaki tanah Tuhan’. Padahal, selama ini
PBB sudah membuat pengecualian terhadap objek yang digunakan untuk kepentingan
umum seperti ibadah, sosial, pendidikan, kesehatan, kebudayaan nasional,
kuburan, peninggalan purbakala, hutan lindung, taman nasional, tanah gembala
yang dikuasai desa, dan yang digunakan oleh konsulat/perwakilan diplomati dan
organisasi internasional. Jika ingin menghapus kewajiban membayar PBB kepada
masyarakat kurang mampu, ubah undang-undangnya lebih dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar