Mulai 1 Januari
2015, pemerintah menurunkan harga BBM jenis premium dari Rp8.500,- menjadi
Rp7.600,- per liter dan solar dari semula Rp7.500,- menjadi Rp7.250,- per
liter. Perubahan kebijakan harga BBM ini tergolong cepat, hampir sama cepatnya
dengan perubahan kebijakan harga BBM di era Presiden Megawati Soekarnoputri bulan Januari 2003.
Berikut sedikit kilas balik kebijakan perubahan harga BBM
pada beberapa era kepemimpinan di Indonesia.
Dari beberapa
catatan sejak tahun 1990 diketahui bahwa di masa Presiden Soeharto, kenaikan
harga premium terjadi tahun 1991, 1993, dan 1998. Harga BBM tertinggi saat itu
adalah Rp1.200,-
per liter untuk premium, Rp600,-
per liter untuk solar, dan Rp350,-
per liter untuk minyak tanah. Di era Presiden Habibie, terjadi penurunan harga
pada 16 Mei 1998 untuk premium menjadi Rp1.000,- per liter dan solar Rp550,-
per liter sementara harga minyak tanah masih tetap sama.
Pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), harga BBM diturunkan pada April 2000,
kemudian naik lagi pada Oktober 2000 dan Juni 2001 dengan harga tertinggi saat
itu sebesar Rp1.450,- per liter untuk premium, Rp900,- per liter untuk solar,
dan Rp400,- per liter untuk minyak tanah.
Era Presiden
Megawati, kenaikan harga BBM terjadi pada 1 Maret 2002, 1 April 2002, 3 Mei
2002, dan 1 Januari 2003
dengan harga tertinggi sebesar Rp1.810,-
per liter untuk premium, Rp1.890,-
per liter untuk solar, dan Rp1.970,-
per liter untuk minyak tanah. Pada bulan
yang sama tepatnya tanggal 21 Januari 2003, Megawati menurunkan harga solar dan
minyak tanah sehingga menjadi Rp1.650,- dan Rp1.800,- per liter. Harga premium
tetap sama sebesar Rp1.890,- per liter.
Pada masa
kepemimpinan Presiden SBY kenaikan harga BBM terjadi pada bulan Mei 2005, Oktober
2005, dan Mei 2008. Harga BBM kemudian mengalami penurunan pada Desember 2008
dan Januari 2009. Pada bulan Juni 2013 melalui sidang paripurna DPR yang alot,
rencana pemerintah menaikkan harga BBM pun akhirnya terkabul sehingga harga BBM premium menjadi Rp6.500,- per liter
sedangkan solar Rp5.500,- per liter dan minyak tanah Rp2.500,- per liter.
Terakhir,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat kebijakan menaikkan harga BBM pada 18
November 2014 dan menurunkannya kembali mulai 1 Januari 2015. Pemerintah mengubah
skema subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diberikan ke masyarakat. Premium
sudah tidak disubsidi lagi. BBM yang dijual kepada masyarakat dibagi ke dalam tiga jenis:
(1) BBM dengan jenis tertentu yang disubsidi, (2) BBM khusus penugasan, dan (3)
BBM umum. BBM
jenis tertentu yang disubsidi adalah solar dan minyak tanah dengan besaran
subsidi maksimum Rp1.000,- per liter. Alasan
pemberian subsidi solar dan minyak tanah karena lebih banyak digunakan untuk mendukung
aktivitas ekonomi, sementara penetapan
subsidi sebesar Rp1.000,- karena pemerintah ingin agar besaran alokasi subsidi
dalam APBN dapat lebih terukur.
Premium kini
dimasukkan ke dalam kategori BBM khusus penugasan dan BBM umum. Premium yang
didistribusikan ke wilayah-wilayah tertentu di luar Jawa, Madura, dan Bali (“Jamali”) merupakan BBM khusus
penugasan. Harga premium untuk jenis ini mendapatkan insentif sebesar dua
persen dari harga pasar yang berlaku untuk setiap liternya, yang digunakan
untuk menutup biaya distribusi oleh Pertamina. Sementara itu, premium yang
dijual di wilayah Jamali dikategorikan sebagai BBM umum yang harganya
disesuaikan dengan harga pasar. Cara
ini diharapkan mampu meminimalisasi disparitas harga antarwilayah di Indonesia.
Harga BBM penugasan dan BBM umum saat ini masih
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Tetapi, setelah Januari 2015 harga kedua
jenis BBM tersebut akan berubah setiap bulan bergantung pada besaran pajak
bahan bakar kendaraan bermotor di tiap-tiap pemerintah daerah.
Pemerintah
mengklaim bahwa pencabutan subsidi BBM jenis premium berdampak pada penghematan
APBN lebih dari Rp200 triliun. Jika semula subsidi BBM sebesar Rp276 triliun,
kini dalam APBN-P kemungkinan subsidi tersebut tinggal Rp60 triliun saja, di dalamnya sudah termasuk subsidi
gas elpiji 3 kg dan pengembangan energi terbarukan.
Kebijakan
harga BBM yang terlalu cepat berubah akan berdampak pada perekonomian. Hal yang
paling mudah untuk diamati adalah fenomena kenaikan harga sembako, ongkos
angkutan umum (sebagian daerah bahwa naik hingga 100 persen), harga persewaan
kendaraan dan bus pariwisata, sampai pada tuntutan kenaikan gaji dan upah
pegawai sebagai dampak kenaikan harga kebutuhan pokok. Bahkan hanya sehari
setelah pengumuman kenaikan harga BBM, harga nasi goreng yang biasa penulis
beli mengalami kenaikan dari Rp10.000,- menjadi Rp12.000,- per porsi. Semudah
itu kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan harga-harga. Data resmi Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulan November 2014 sebesar 1,5%
meloncat jauh dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,47%. Untuk bulan Desember
2014 inflasi mencapai 2,46%.
Menariknya,
ketika harga-harga mengalami kenaikan dan beberapa perusahaan bahkan menaikkan
upah pegawainya, pemerintah mengumumkan penurunan harga BBM yang berlaku mulai
1 Januari 2015. Kebijakan ini disambut antusias oleh masyarakat tetapi
sayangnya hal itu tidak serta merta menurunkan harga kebutuhan pokok yang
terlanjur meroket. Tidak mungkin juga kalangan pengusaha menurunkan upah
pegawainya. Maka, penurunan harga BBM hanya sedikit mengurangi beban masyarakat
saja.
Satu hal yang
harus dipahami bersama adalah bahwa ke depan pemerintah akan menyerahkan
sepenuhnya harga BBM kepada mekanisme pasar. Itu berarti, harga BBM baik yang
bersubsidi maupun tidak dapat berubah sewaktu-waktu karena harga BBM dihitung
berdasarkan kurs rupiah dan pergerakan harga minyak selama sebulan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar