Aku
berumur tiga belas tahun ketika peristiwa itu terjadi. Kamis, 13 Februari 1992
sekitar jam delapan pagi. Ratusan orang petugas keamanan dan ketertiban
(kamtib) di bawah komanto Bakorstanas serta tukang gergaji dan tukang pukul
bergerombol membentuk barikade. Pasukan dari empat angkatan malah membawa
pentung dan tameng. Rapi, berwibawa, tapi sangat menakutkan. Agenda mereka
hanya satu: penggusuran paksa penduduk Kampung Rawa, kampung yang kami tempati
sejak pertengahan 1980-an.
Bapak
sedang belanja barang dagangan ke pasar Palmerah sejak setengah enam ba’da
shubuh tadi. Seperti biasa, Bapak berbelanja beberapa bahan semisal tahu
Sumedang, cabai giling, tepung terigu, tepung kanji, daun kucai, dan bumbu
dapur. Bahan-bahan itu akan diolah untuk membuat tahu-aci goreng. Kami
menyebutnya tahu Slawi.
Di
rumah hanya ada Ibu dan aku. Ibu sedang memasak untuk sarapan pagi. Biasanya,
sepulang Bapak belanja dari pasar, sarapan siap dihidangkan. Menunya tidak
mewah. Hanya sambal tempe dan kerupuk sebagai lauk-pauk. Bapak, ibu, dan aku
makan bersama. Habis itu kami melakukan pekerjaan rutin: membuat sambal untuk
dicolek sama tahu, menata tahu di keranjang, lalu membuat adonan dari bahan
tepung kanji. Pekerjaan rutin seperti itu biasanya baru selesai sekita jam dua
siang.
Seorang
petugas berpakaian hitam datang mengetuk pintu rumah. Perawakannya tegap,
bersepatu lars panjang, dan membawa pentungan. Ibu yang tengah memasak terkejut
mendengar pintu diketuk agar keras, lebih keras dari biasanya orang ketika
bertamu ke rumah.
“Selamat
pagi, Bu!”
“Pagi.
Ada apa?” tanya Ibu dengan suara bergetar.
“Sesuai
instruksi atasan kami, Ibu dan warga lain di kampung ini harus pindah sekarang
juga.” Petugas ini tidak bisa senyum. Apalagi menundukkan kepala. Sombong
sekali.
“Pindah?”
“Iya,
pindah!”
“Tapi,
bapak lagi nggak di rumah. Gimana, ya?”
“Maaf,
Bu, saya hanya menjalankan tugas.” Kali ini aku baru mendengar kata-kata ramah
dari petugas. Tapi tanpa ekspresi.
“Sudahlah,
Bu, segera bersiap untuk pindah. Beritahu warga yang lain. Silakan berkumpul di
lapangan sepakbola.” Petugas segera meninggalkan pintu rumah. Nampaknya ia akan
melakukan hal yang sama ke rumah lainnya.
Ibu
kebingungan. Ia menatap wajahku. Aku juga bingung. Bukan, bahkan aku tidak
mengerti maksud kata-kata petugas tadi. Pindah? Memang ini rumah siapa? Bagiku,
ini rumah keluargaku. Rumah Bapak, Ibu, dan juga aku. Di sini aku menemukan
masa kecil yang membahagiakan. Bermain bola, berlari di tepi empang, memetik
daun kangkung, kadang berjoget di pinggir tempat sampah ketika musik dangdut
mengalun dari speaker rumah Om.
Rumahku
memang tidak luas. Dari ujung ke ujung, panjang “lorong” rumah kami hanya
sekitar enam meter. Lebar kira-kira satu setengah meter. Kau bisa bayangkan
betapa “luas” rumah kami. Mengapa aku menyebut “lorong”? Ya, sebenarnya rumahku
hanyalah sebuah lorong antara rumah Pak Dani dan Om. Mereka berdua menawarkan
kepada bapakku untuk memanfaatkan lorong di antara kedua rumah untuk kami
jadikan tempat tinggal. Bapak menerima tawaran mereka. Tidak gratis tentunya
karena sejak dulu tanah Kampung Rawa dijualbelikan begitu saja. Tanpa dokumen
sah pemerintah.
Dinding
rumah kami terbuat dari kayu tripleks yang dilapisi kertas putih buram sebagai pengganti
cat tembok. Bapak menempel kertas-kertas itu di setiap bagian dinding dan sudut
ruangan dengan lem yang terbuat dari tepung kanji. Dengan cara itu, dinding
kami kelihatan lebih terang. Jika kertas mulai kusam, kertas baru ditempel
lagi.
Isi
rumahku juga seadanya. Di dekat pintu masuk sisi depan, rak piring bersandar.
Di sampingnya, sebuah kompor minyak penuh karat berdiri tegak. Ia satu-satunya
alat memasak yang kami punya. Sementara di ujung pintu belakang, sebuah kasur
tipis nan lusuh mengisi ruang tidur. Jangan kau bayangkan ruang tidur seperti
rumah gedongan. Bukan. Ini hanya ruang tidur-ruang tidur-an. Sisi tengah kami
pakai untuk ruang makan. Ini juga ruang makan-ruang makan-an.
Bapak
menyiasati sempitnya rumah dengan membuat beberapa kayu dan papan menjadi
bangunan “lantai dua”. Pada bagian ini, kami menempatkan perkakas dapur,
alat-alat perdagangan, tikar, atau apapun yang masih kami miliki. Kami juga
menjadikan “lantai dua” ini sebagai tempat tidur ketika ada tamu menginap.
Kedamaian
keluarga kami dan penduduk Kampung Rawa mulai terusik sejak kedatangan seseorang—dengan
kawalan polisi dan tentara—yang mengaku utusan Walikota Jakarta Barat selepas
shalat Jumat tanggal 6 Februari 1992. Dia membawa sepucuk surat bernama Surat
Perintah Bongkar (SPB) yang isinya meminta agar warga membongkar sendiri
rumahnya sebelum dilakukan bongkar paksa oleh aparat. Aku mendengar bahwa
sebelumnya sempat ada negosiasi warga dengan pemerintah sejak Oktober tahun
lalu.
Pemerintah
mengklaim bahwa lahan di Kampung Rawa adalah milik Ditjen Pajak. Meski demikian,
warga akan diberikan kompensasi. Jumlah persisnya aku lupa. Karena jumlah
kompensasi terlalu kecil sementara hampir semua warga menempati lahan bukan
tanpa biaya, pembongkaran urung dilakukan hingga akhirnya hari yang ditetapkan
untuk bongkar paksa pun tiba.
Mendadak
suara keras terdengar dari rumah bagian belakang. Buk!!! Seperti suara
bongkahan bangunan. Kami segera keluar rumah untuk melihat kejadian di luar. Ya
Tuhan! Kami menyaksikan pemandangan yang selama ini belum pernah kami saksikan
langsung kecuali melalui layar televisi. Beberapa alat berat menghantamkan
lengannya ke dinding rumah Pak Yadi. Rumah paling bagus di antara rumah
penduduk Kampung Rawa. Tembok batako yang kokoh kini berjatuhan menjadi
puing-puing. Debu beterbangan menyebarkan partikel-partikel yang membahayakan
pernafasan.
Ibu
masuk ke rumah. Ia mengambil kompor minyak dan kasur lusuh. Aku disuruhnya
membawa rak piring. Itu harta kami yang paling berharga. Sepertinya tak ada
waktu lagi untuk menunggu Bapak pulang. Kami berlari menuju lapangan sepakbola.
Di sana, ratusan orang sudah lebih dulu berhimpun. Kami mendengar isak tangis
ibu-ibu dan anak-anak. Umpatan dan sumpah serapah bergema di mana-mana. Kaum
bapak yang lebih banyak mengucapkannya. Mereka marah dengan cara pemerintah
meminta kami pindah dari tempat tinggal kami.
Beberapa
puluh orang dewasa dan pemuda melempari petugas dengan batu dan kayu seadanya.
Mereka menunjukkan perlawanan. Memperjuangkan “hak”. Petugas kamtib hanya
melayaninya dengan mengangkat tameng tanpa membalas. Aku tidak tahu kenapa.
Inikah yang namanya unjuk rasa? Saat itu aku belum kenal istilah demonstrasi.
Ibu
dan aku tak bisa lagi masuk ke rumah sekadar menyelamatkan beberapa perkakas
yang masih bisa diselamatkan. Selain barikade petugas, peralatan berat nyaris
meratatanahkan seluruh bangunan. Kami hanya menyaksikan petugas kamtib yang kejam
dan alat berat menghancurkan seluruh bangunan yang rata-rata terbuat dari kayu.
Hanya sedikit rumah—seperti milik Pak Yadi—yang memiliki dinding dari batako.
Puing-puing, kayu, kasur lusuh, kini tak ada lagi bedanya. Ibuku menangis
memanggil-manggil Bapak yang tak kunjung datang. Aku juga.
Dua
kelompok berhadap-hadapan. Jumlahnya tak seimbang. Petugas berseragam jumlahnya
lebih banyak dibandingkan pengunjuk rasa yang menuntut hak dan keadilan. Batu-batu
beterbangan. Mengangkasa, lalu jatuh menghujam ke arah petugas. Tameng-tameng
ditengadahkan menangkis serangan.
Sekali
lagi warga coba membangun serangan. Kali ini seseorang berkaos putih bergerak dari
arah timur. Dia lalu bergabung dengan warga Kampung Rawa yang marah. Ternyata itu
Bapak. Dia berlari kencang tanpa menenteng barang belanjaan. (Belakangan aku
baru tahu kalau Bapak sengaja meninggalkan belanjaan di tepi pos polisi karena
sebelumnya dilarang polisi masuk ke lokasi penggusuran). Ibuku berteriak
meminta Bapak untuk tidak ikut-ikutan. Tapi Bapak bergeming. Petugas kembali
menghindar dari serangan dengan tameng lalu mundur tiga langkah. Situasi makin
memanas.
Lontaran
batu kembali dilakukan. Melayang seperti anak panah dimuntahkan dari
busur-busur prajurit perang. Sebagian mengenai tameng, sebagian lagi mengenai helm
petugas. Ada kepala yang berdarah. Aku melihat seorang petugas kamtib—sepertinya
dia koordinator lapangan—dengan penuh amarah memerintahkan anak buahnya
bergerak ke depan. Pentungan diarahkan ke pengunjuk rasa. Banyak pengunjuk rasa
yang terluka. Sakit, lelah, merana. Kami hanya menyaksikan kejadian memilukan
itu dari lapangan sepakbola tanpa bisa membela.
Satu
orang warga Kampung Rawa ditarik lalu diringkus petugas tamtib. Rambutnya panjang
berkaos hitam. Aku melihatnya dengan jelas. Itu Mas Pon. Di diseret lalu
dipaksa naik ke mobil polisi. Sejurus kemudian kendaraan bergerak meninggalkan
lokasi penggusuran. Mas Pon ditangkap. Sejak itu, aku tidak lagi mendengar
kabar Mas Pon. Semoga dia masih hidup dan selamat.
Matahari
tepat di atas kepala. Terik dan membuat kami kelelahan. Kini, tak ada lagi
perlawanan dari warga Kampung Rawa. Batu habis, tenaga juga habis. Bagaimana
tidak? Kami bahkan tak menyiapkan air minum untuk sekadar bertahan di lapangan seperti
ini. Kami hanya pasrah, diam, dan belum bisa berpikir mau pindah ke mana
setelah kampung kami digusur.
Anak-anak
mulai tidur pulas di atas rumput. Kulitnya berselimut debu. Hanya harapan yang
tersimpan dalam mimpi-mimpi indah mereka. Harapan yang kadang kandas di tangan
besi pemerintah yang entah sengaja atau tidak telah menelantarkan orang-orang
kelas bawah seperti kami. Tuhan, tolonglah kami...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar