Jumat, 22 Agustus 2014

Gusur!



Aku berumur tiga belas tahun ketika peristiwa itu terjadi. Kamis, 13 Februari 1992 sekitar jam delapan pagi. Ratusan orang petugas keamanan dan ketertiban (kamtib) di bawah komanto Bakorstanas serta tukang gergaji dan tukang pukul bergerombol membentuk barikade. Pasukan dari empat angkatan malah membawa pentung dan tameng. Rapi, berwibawa, tapi sangat menakutkan. Agenda mereka hanya satu: penggusuran paksa penduduk Kampung Rawa, kampung yang kami tempati sejak pertengahan 1980-an.

Bapak sedang belanja barang dagangan ke pasar Palmerah sejak setengah enam ba’da shubuh tadi. Seperti biasa, Bapak berbelanja beberapa bahan semisal tahu Sumedang, cabai giling, tepung terigu, tepung kanji, daun kucai, dan bumbu dapur. Bahan-bahan itu akan diolah untuk membuat tahu-aci goreng. Kami menyebutnya tahu Slawi.
Di rumah hanya ada Ibu dan aku. Ibu sedang memasak untuk sarapan pagi. Biasanya, sepulang Bapak belanja dari pasar, sarapan siap dihidangkan. Menunya tidak mewah. Hanya sambal tempe dan kerupuk sebagai lauk-pauk. Bapak, ibu, dan aku makan bersama. Habis itu kami melakukan pekerjaan rutin: membuat sambal untuk dicolek sama tahu, menata tahu di keranjang, lalu membuat adonan dari bahan tepung kanji. Pekerjaan rutin seperti itu biasanya baru selesai sekita jam dua siang.
Seorang petugas berpakaian hitam datang mengetuk pintu rumah. Perawakannya tegap, bersepatu lars panjang, dan membawa pentungan. Ibu yang tengah memasak terkejut mendengar pintu diketuk agar keras, lebih keras dari biasanya orang ketika bertamu ke rumah.
“Selamat pagi, Bu!”
“Pagi. Ada apa?” tanya Ibu dengan suara bergetar.
“Sesuai instruksi atasan kami, Ibu dan warga lain di kampung ini harus pindah sekarang juga.” Petugas ini tidak bisa senyum. Apalagi menundukkan kepala. Sombong sekali.
“Pindah?”
“Iya, pindah!”
“Tapi, bapak lagi nggak di rumah. Gimana, ya?”
“Maaf, Bu, saya hanya menjalankan tugas.” Kali ini aku baru mendengar kata-kata ramah dari petugas. Tapi tanpa ekspresi.
“Sudahlah, Bu, segera bersiap untuk pindah. Beritahu warga yang lain. Silakan berkumpul di lapangan sepakbola.” Petugas segera meninggalkan pintu rumah. Nampaknya ia akan melakukan hal yang sama ke rumah lainnya.
Ibu kebingungan. Ia menatap wajahku. Aku juga bingung. Bukan, bahkan aku tidak mengerti maksud kata-kata petugas tadi. Pindah? Memang ini rumah siapa? Bagiku, ini rumah keluargaku. Rumah Bapak, Ibu, dan juga aku. Di sini aku menemukan masa kecil yang membahagiakan. Bermain bola, berlari di tepi empang, memetik daun kangkung, kadang berjoget di pinggir tempat sampah ketika musik dangdut mengalun dari speaker rumah Om.
Rumahku memang tidak luas. Dari ujung ke ujung, panjang “lorong” rumah kami hanya sekitar enam meter. Lebar kira-kira satu setengah meter. Kau bisa bayangkan betapa “luas” rumah kami. Mengapa aku menyebut “lorong”? Ya, sebenarnya rumahku hanyalah sebuah lorong antara rumah Pak Dani dan Om. Mereka berdua menawarkan kepada bapakku untuk memanfaatkan lorong di antara kedua rumah untuk kami jadikan tempat tinggal. Bapak menerima tawaran mereka. Tidak gratis tentunya karena sejak dulu tanah Kampung Rawa dijualbelikan begitu saja. Tanpa dokumen sah pemerintah.
Dinding rumah kami terbuat dari kayu tripleks yang dilapisi kertas putih buram sebagai pengganti cat tembok. Bapak menempel kertas-kertas itu di setiap bagian dinding dan sudut ruangan dengan lem yang terbuat dari tepung kanji. Dengan cara itu, dinding kami kelihatan lebih terang. Jika kertas mulai kusam, kertas baru ditempel lagi.
Isi rumahku juga seadanya. Di dekat pintu masuk sisi depan, rak piring bersandar. Di sampingnya, sebuah kompor minyak penuh karat berdiri tegak. Ia satu-satunya alat memasak yang kami punya. Sementara di ujung pintu belakang, sebuah kasur tipis nan lusuh mengisi ruang tidur. Jangan kau bayangkan ruang tidur seperti rumah gedongan. Bukan. Ini hanya ruang tidur-ruang tidur-an. Sisi tengah kami pakai untuk ruang makan. Ini juga ruang makan-ruang makan-an.
Bapak menyiasati sempitnya rumah dengan membuat beberapa kayu dan papan menjadi bangunan “lantai dua”. Pada bagian ini, kami menempatkan perkakas dapur, alat-alat perdagangan, tikar, atau apapun yang masih kami miliki. Kami juga menjadikan “lantai dua” ini sebagai tempat tidur ketika ada tamu menginap.
Kedamaian keluarga kami dan penduduk Kampung Rawa mulai terusik sejak kedatangan seseorang—dengan kawalan polisi dan tentara—yang mengaku utusan Walikota Jakarta Barat selepas shalat Jumat tanggal 6 Februari 1992. Dia membawa sepucuk surat bernama Surat Perintah Bongkar (SPB) yang isinya meminta agar warga membongkar sendiri rumahnya sebelum dilakukan bongkar paksa oleh aparat. Aku mendengar bahwa sebelumnya sempat ada negosiasi warga dengan pemerintah sejak Oktober tahun lalu.
Pemerintah mengklaim bahwa lahan di Kampung Rawa adalah milik Ditjen Pajak. Meski demikian, warga akan diberikan kompensasi. Jumlah persisnya aku lupa. Karena jumlah kompensasi terlalu kecil sementara hampir semua warga menempati lahan bukan tanpa biaya, pembongkaran urung dilakukan hingga akhirnya hari yang ditetapkan untuk bongkar paksa pun tiba.
Mendadak suara keras terdengar dari rumah bagian belakang. Buk!!! Seperti suara bongkahan bangunan. Kami segera keluar rumah untuk melihat kejadian di luar. Ya Tuhan! Kami menyaksikan pemandangan yang selama ini belum pernah kami saksikan langsung kecuali melalui layar televisi. Beberapa alat berat menghantamkan lengannya ke dinding rumah Pak Yadi. Rumah paling bagus di antara rumah penduduk Kampung Rawa. Tembok batako yang kokoh kini berjatuhan menjadi puing-puing. Debu beterbangan menyebarkan partikel-partikel yang membahayakan pernafasan.
Ibu masuk ke rumah. Ia mengambil kompor minyak dan kasur lusuh. Aku disuruhnya membawa rak piring. Itu harta kami yang paling berharga. Sepertinya tak ada waktu lagi untuk menunggu Bapak pulang. Kami berlari menuju lapangan sepakbola. Di sana, ratusan orang sudah lebih dulu berhimpun. Kami mendengar isak tangis ibu-ibu dan anak-anak. Umpatan dan sumpah serapah bergema di mana-mana. Kaum bapak yang lebih banyak mengucapkannya. Mereka marah dengan cara pemerintah meminta kami pindah dari tempat tinggal kami.
Beberapa puluh orang dewasa dan pemuda melempari petugas dengan batu dan kayu seadanya. Mereka menunjukkan perlawanan. Memperjuangkan “hak”. Petugas kamtib hanya melayaninya dengan mengangkat tameng tanpa membalas. Aku tidak tahu kenapa. Inikah yang namanya unjuk rasa? Saat itu aku belum kenal istilah demonstrasi.
Ibu dan aku tak bisa lagi masuk ke rumah sekadar menyelamatkan beberapa perkakas yang masih bisa diselamatkan. Selain barikade petugas, peralatan berat nyaris meratatanahkan seluruh bangunan. Kami hanya menyaksikan petugas kamtib yang kejam dan alat berat menghancurkan seluruh bangunan yang rata-rata terbuat dari kayu. Hanya sedikit rumah—seperti milik Pak Yadi—yang memiliki dinding dari batako. Puing-puing, kayu, kasur lusuh, kini tak ada lagi bedanya. Ibuku menangis memanggil-manggil Bapak yang tak kunjung datang. Aku juga.
Dua kelompok berhadap-hadapan. Jumlahnya tak seimbang. Petugas berseragam jumlahnya lebih banyak dibandingkan pengunjuk rasa yang menuntut hak dan keadilan. Batu-batu beterbangan. Mengangkasa, lalu jatuh menghujam ke arah petugas. Tameng-tameng ditengadahkan menangkis serangan.
Sekali lagi warga coba membangun serangan. Kali ini seseorang berkaos putih bergerak dari arah timur. Dia lalu bergabung dengan warga Kampung Rawa yang marah. Ternyata itu Bapak. Dia berlari kencang tanpa menenteng barang belanjaan. (Belakangan aku baru tahu kalau Bapak sengaja meninggalkan belanjaan di tepi pos polisi karena sebelumnya dilarang polisi masuk ke lokasi penggusuran). Ibuku berteriak meminta Bapak untuk tidak ikut-ikutan. Tapi Bapak bergeming. Petugas kembali menghindar dari serangan dengan tameng lalu mundur tiga langkah. Situasi makin memanas.
Lontaran batu kembali dilakukan. Melayang seperti anak panah dimuntahkan dari busur-busur prajurit perang. Sebagian mengenai tameng, sebagian lagi mengenai helm petugas. Ada kepala yang berdarah. Aku melihat seorang petugas kamtib—sepertinya dia koordinator lapangan—dengan penuh amarah memerintahkan anak buahnya bergerak ke depan. Pentungan diarahkan ke pengunjuk rasa. Banyak pengunjuk rasa yang terluka. Sakit, lelah, merana. Kami hanya menyaksikan kejadian memilukan itu dari lapangan sepakbola tanpa bisa membela.
Satu orang warga Kampung Rawa ditarik lalu diringkus petugas tamtib. Rambutnya panjang berkaos hitam. Aku melihatnya dengan jelas. Itu Mas Pon. Di diseret lalu dipaksa naik ke mobil polisi. Sejurus kemudian kendaraan bergerak meninggalkan lokasi penggusuran. Mas Pon ditangkap. Sejak itu, aku tidak lagi mendengar kabar Mas Pon. Semoga dia masih hidup dan selamat.
Matahari tepat di atas kepala. Terik dan membuat kami kelelahan. Kini, tak ada lagi perlawanan dari warga Kampung Rawa. Batu habis, tenaga juga habis. Bagaimana tidak? Kami bahkan tak menyiapkan air minum untuk sekadar bertahan di lapangan seperti ini. Kami hanya pasrah, diam, dan belum bisa berpikir mau pindah ke mana setelah kampung kami digusur.
Anak-anak mulai tidur pulas di atas rumput. Kulitnya berselimut debu. Hanya harapan yang tersimpan dalam mimpi-mimpi indah mereka. Harapan yang kadang kandas di tangan besi pemerintah yang entah sengaja atau tidak telah menelantarkan orang-orang kelas bawah seperti kami. Tuhan, tolonglah kami...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar