Jumat, 09 Januari 2015

Berharap Keadilan pada Harga BBM (Bag. 2)



Sudah tepatkah keputusan pemerintah yang menetapkan harga BBM mengikuti harga pasar? Mari kita lihat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Makna “dikuasai oleh negara” dalam pasal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 adalah bahwa negara sebagai organisasi diberi kewenangan yang darinya dimungkinkan timbulnya hak-hak, seperti hak pengelolaan, hak pengusahaan. Hak menguasai negara dalam hubungan dengan minyak dan gas bumi mencakup hak untuk mengatur dan menentukan status hukum pengelolaan dan pengusahaan atas minyak dan gas bumi.

Sementara kalimat “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” berarti bahwa kekayaan alam tersebut harus benar-benar memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam arti yang luas, termasuk ketersediaan BBM bagi masyarakat dan kemampuan/daya beli masyarakat untuk memperoleh BBM tersebut. Jika pada akhirnya keberadaan kekayaan alam tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat, menurut hemat penulis hal tersebut sudah tidak lagi mencerminkan kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD 1945.
Masih soal penyerahan harga BBM kepada mekanisme pasar, nampakya kita perlu melihat kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; serta ayat (3) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga BBM kepada mekanisme pasar tidak sesuai dengan konstitusi. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah harus melakukan kontrol atas harga BBM dengan menentukan harga yang tidak memberatkan masyarakat.
Thomas R. Dye (1992:2) menyatakan bahwa public policy is what ever goverments choose to do or not to do. Kebijakan untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM adalah wewenang pemerintah. Meskipun demikian, agar kebijakan tersebut tidak merugikan dan dapat diterima semua pihak, diperlukan analisis yang tepat dan memadai baik dalam level formulasi, implementasi, maupun monitoring dan evaluasi kebijakan.
Pada tataran formulasi kebijakan, teori model rasional (rational model) menyatakan kebijakan publik sebagai maximun social gain yang berarti bahwa pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Perubahan harga BBM harus memperhitungkan secara saksama harga keekonomian dan daya beli masyarakat, serta dampaknya terhadap ekonomi. Pada tataran implementasi, empat hal perlu diperhatikan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Monitoring kebijakan diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan membawa kepada tujuan yang diinginkan. Sementara evaluasi diperlukan untuk menilai efektivitas kebijakan dan menentukan apakah kebijakan tersebut tetap dipertahankan atau ditinjau kembali.
Berdasarkan teori kontrak sosial sebagai salah satu teori pembentukan negara, John Locke (1632-1704) berpendapat bahwa masyarakat menyerahkan sebagian hak-haknya kepada pemerintah untuk mengatur negara dan mewujudkan kesejahteraan. Antara masyarakat dan pemerintah terdapat hubungan saling percaya (fiduciary trust). Kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya terjadi ketika pemerintah masih dipercaya. Jika hubungan kepercayaan tersebut runtuh, pemerintah tidak mempunyai hak untuk memaksakan kewenangannya. Sementara itu, Jean J. Rousseau (1712-1778) berpendapat bahwa terbentuknya negara memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya memperhatikan apakah kebijakan yang diambil akan semakin meningkatkan atau justeru menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.
Pilihan keputusan telah diambil pemerintah. Masyarakat kini berhak meminta pelayanan yang lebih baik dari penyedia BBM khususnya Pertamina. Ketersediaan BBM harus aman dan pasokan ke wilayah di seluruh Indonesia harus sesuai dengan kebutuhan. Kelangkaan BBM di masyarakat adalah hal yang tidak dapat lagi ditoleransi. Pemberian insentif sebesar dua persen sebagai pengganti biaya distribusi semestinya tidak menimbulkan disparitas harga yang mencolok antara BBM yang dijual di wilayah Jamali dan di luar Jamali. Sebagaimana diberitakan oleh republika.co.id tanggal 18 November 2014, harga bensiun premium di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur bisa mencapai Rp35 ribu sampai Rp50 ribu per liter karena ongkos transport yang cukup mahal. Sementara di Sintang Kalimantan Barat harga premium mencapai Rp12 ribu per liter. Mahalnya harga BBM jenis premium tersebut masih ditambah dengan pasokan yang langka. Lain lagi di Papua yang masyarakatnya sudah terbiasa dengan harga premium Rp30 ribu per liter sehingga kenaikan harga di Jawa sepertinya tidak berdampak apa-apa alias dianggap biasa-biasa saja.
Mampukah kebijakan baru pemerintah membagi BBM subsidi, BBM penugasan, dan BBM dengan harga pasar membuat harga BBM di seluruh Indonesia seragam atau setidaknya disparitas harganya dapat diminimalisasi? Mampukah insentif sebesar dua persen dari harga jual BBM menciptakan keadilan ekonomi seluruh lapisan masyarakat? Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar