Sudah
tepatkah keputusan pemerintah yang menetapkan harga BBM mengikuti harga pasar?
Mari kita lihat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan: bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Makna “dikuasai oleh negara” dalam
pasal tersebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003
adalah bahwa negara sebagai organisasi diberi kewenangan yang darinya
dimungkinkan timbulnya hak-hak, seperti hak pengelolaan, hak pengusahaan. Hak
menguasai negara dalam hubungan dengan minyak dan gas bumi mencakup hak untuk
mengatur dan menentukan status hukum pengelolaan dan pengusahaan atas minyak
dan gas bumi.
Sementara
kalimat “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” berarti bahwa kekayaan alam
tersebut harus benar-benar memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dalam
arti yang luas, termasuk ketersediaan BBM bagi masyarakat dan kemampuan/daya
beli masyarakat untuk memperoleh BBM tersebut. Jika pada akhirnya keberadaan
kekayaan alam tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu dan mengabaikan
kepentingan masyarakat, menurut hemat penulis hal tersebut sudah tidak lagi
mencerminkan kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD 1945.
Masih
soal penyerahan harga BBM kepada mekanisme pasar, nampakya kita perlu melihat
kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar; serta ayat (3) yang menyatakan bahwa
pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat
tertentu; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa penetapan harga BBM kepada mekanisme pasar
tidak sesuai dengan konstitusi. Hal tersebut
berarti bahwa pemerintah harus melakukan kontrol atas harga BBM dengan
menentukan harga yang tidak memberatkan masyarakat.
Thomas R. Dye
(1992:2) menyatakan bahwa public policy
is what ever goverments choose to do or not to do. Kebijakan untuk
menaikkan atau menurunkan harga BBM adalah wewenang pemerintah. Meskipun demikian,
agar kebijakan tersebut tidak merugikan dan dapat diterima semua pihak,
diperlukan analisis yang tepat dan memadai baik dalam level formulasi,
implementasi, maupun monitoring dan evaluasi
kebijakan.
Pada
tataran formulasi kebijakan, teori model rasional (rational model)
menyatakan kebijakan publik sebagai maximun social gain yang berarti bahwa
pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan
manfaat optimum bagi masyarakat. Perubahan harga BBM harus memperhitungkan
secara saksama harga keekonomian dan daya beli masyarakat, serta dampaknya
terhadap ekonomi. Pada tataran implementasi, empat hal perlu diperhatikan yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Monitoring
kebijakan diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana dan membawa kepada tujuan yang diinginkan. Sementara evaluasi
diperlukan untuk menilai efektivitas kebijakan dan menentukan apakah kebijakan
tersebut tetap dipertahankan atau ditinjau kembali.
Berdasarkan
teori kontrak sosial sebagai salah satu teori pembentukan negara, John Locke
(1632-1704) berpendapat bahwa masyarakat menyerahkan sebagian hak-haknya kepada
pemerintah untuk mengatur negara dan mewujudkan kesejahteraan. Antara
masyarakat dan pemerintah terdapat hubungan saling percaya (fiduciary trust).
Kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya terjadi
ketika pemerintah masih dipercaya. Jika hubungan kepercayaan tersebut runtuh,
pemerintah tidak mempunyai hak untuk memaksakan kewenangannya. Sementara itu,
Jean J. Rousseau (1712-1778) berpendapat bahwa terbentuknya negara memungkinkan
manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin
didapat dalam kondisi alamiah. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya
memperhatikan apakah kebijakan yang diambil akan semakin meningkatkan atau
justeru menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat.
Pilihan
keputusan telah diambil pemerintah. Masyarakat kini
berhak meminta pelayanan yang lebih baik dari
penyedia BBM khususnya Pertamina. Ketersediaan BBM harus aman dan pasokan ke
wilayah di seluruh Indonesia harus sesuai dengan kebutuhan. Kelangkaan BBM di
masyarakat adalah hal yang tidak dapat lagi ditoleransi. Pemberian insentif sebesar dua persen sebagai pengganti
biaya distribusi semestinya tidak menimbulkan disparitas harga yang mencolok
antara BBM yang dijual di wilayah Jamali dan di luar Jamali. Sebagaimana
diberitakan oleh republika.co.id tanggal 18 November 2014, harga bensiun
premium di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur bisa mencapai Rp35 ribu sampai Rp50
ribu per liter karena ongkos transport yang cukup mahal. Sementara di Sintang
Kalimantan Barat harga premium mencapai Rp12 ribu per liter. Mahalnya harga BBM
jenis premium tersebut masih ditambah dengan pasokan yang langka. Lain lagi di
Papua yang masyarakatnya sudah terbiasa dengan harga premium Rp30 ribu per
liter sehingga kenaikan harga di Jawa sepertinya tidak berdampak apa-apa alias
dianggap biasa-biasa saja.
Mampukah
kebijakan baru pemerintah membagi BBM subsidi, BBM penugasan, dan BBM dengan
harga pasar membuat harga BBM di seluruh Indonesia seragam atau setidaknya
disparitas harganya dapat diminimalisasi? Mampukah insentif sebesar dua persen
dari harga jual BBM menciptakan keadilan ekonomi seluruh lapisan masyarakat?
Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar